Menjadi karyawan adalah hal yang tentu saja sangat mengenakkan dan memanjakan bagi sebagian orang. Anda tinggal berangkat kerja pagi sore sudah pulang di sambut oleh senyum manis istri dan celoteh riang anak-anak kita. Rasa penat seharian di kantor seolah telah sirna, bak debu kering yang terguyur air hujan, sungguh menyegarkan tentunya.
Lain halnya dengan Pak Minto, seorang penjual bakso keliling. Dari pagi dia harus mempersiapkan dagangannya dengan membeli bahan-bahan baku baksonya seperti daging, bawang merah, saos, dll. Setibanya di rumah, dia bersama istrinya mengolah bahan-bahan tersebut menjadi bakso yang di gemari oleh banyak orang. Tak jarang anak-anaknya sigap membantu usaha bisnisnya.
Tak ada baju necis yang di pakai selama memproduksi baksonya, tak ada dasi yang mencekik lehernya saat dia mencetak butir demi butir baksonya, tak ada pandangan marah dari pimpinan saat dia melakukan kesalahan.
Dia beristirahat saat capek, dia berhenti sejenak saat dia jenuh. Semua di jalani atas dasar kehendaknya yang merdeka. Merdeka untuk berkreasi, untuk berinovasi mengembangkan produknya. Kerja sama dengan keluarganya, tak jarang malah menciptakan keakraban dan pembelajaran tersendiri akan pentingnya perjuangan hidup. Menciptakan penghayatan tentang makna syukur atas rupiah demi rupiah penghasilan.
Jelang sore hari, Pak Minto segera menyiapkan rombong dorongnya. Senyumnya hangat menyambut tiap pelanggannya yang setia menanti di ujung gang dan juga di pinggir-pinggir jalan.
Salam sapa dan celotehan khas antar para pedagang yang lain juga mewarnai silaturrohmi jalanan ini. Tak terasa malam mulai tiba, hampir habis sudah bakso Pak Minto, segera di kayuhnya rombong baksonya pulang. Dengan uang sudah di tangan, meskipun tidak seberapa di bandingkan dengan tetangga depan rumahnya tapi kebahagiaan jelas tergambar di mukanya atas rezeki ilahi yang tiada dua dan di capai atas perjuangannya selama seharian.
Dia siap menyambut hari esok dan esok dengan lebih baik dengan bebas dan merdeka tanpa terikat oleh birokrasi dan sistem apapun yang bisa menumpulkan otaknya.
Lain halnya dengan Pak Minto, seorang penjual bakso keliling. Dari pagi dia harus mempersiapkan dagangannya dengan membeli bahan-bahan baku baksonya seperti daging, bawang merah, saos, dll. Setibanya di rumah, dia bersama istrinya mengolah bahan-bahan tersebut menjadi bakso yang di gemari oleh banyak orang. Tak jarang anak-anaknya sigap membantu usaha bisnisnya.
Tak ada baju necis yang di pakai selama memproduksi baksonya, tak ada dasi yang mencekik lehernya saat dia mencetak butir demi butir baksonya, tak ada pandangan marah dari pimpinan saat dia melakukan kesalahan.
Dia beristirahat saat capek, dia berhenti sejenak saat dia jenuh. Semua di jalani atas dasar kehendaknya yang merdeka. Merdeka untuk berkreasi, untuk berinovasi mengembangkan produknya. Kerja sama dengan keluarganya, tak jarang malah menciptakan keakraban dan pembelajaran tersendiri akan pentingnya perjuangan hidup. Menciptakan penghayatan tentang makna syukur atas rupiah demi rupiah penghasilan.
Jelang sore hari, Pak Minto segera menyiapkan rombong dorongnya. Senyumnya hangat menyambut tiap pelanggannya yang setia menanti di ujung gang dan juga di pinggir-pinggir jalan.
Salam sapa dan celotehan khas antar para pedagang yang lain juga mewarnai silaturrohmi jalanan ini. Tak terasa malam mulai tiba, hampir habis sudah bakso Pak Minto, segera di kayuhnya rombong baksonya pulang. Dengan uang sudah di tangan, meskipun tidak seberapa di bandingkan dengan tetangga depan rumahnya tapi kebahagiaan jelas tergambar di mukanya atas rezeki ilahi yang tiada dua dan di capai atas perjuangannya selama seharian.
Dia siap menyambut hari esok dan esok dengan lebih baik dengan bebas dan merdeka tanpa terikat oleh birokrasi dan sistem apapun yang bisa menumpulkan otaknya.
"tak ada pandangan marah dari pimpinan saat dia melakukan kesalahan." Sepenggal kalimat ini sangat mengganggu sekali... Hmmmm.... apakah salah satu alasan utama orang2 berwiraswasta adalah hal tersebut???? Padahal berwiraswasta menuntut kita lebih teliti daripada bekerja dalam sebuah institusi. Mengapa?? bila kita bekerja dan memiliki atasan, maka atasanlah yang melakukan koreksi terhadap kesalahan kita dalam bekerja. Apabila kita berwiraswasta dan tidak memiliki atasan, maka kita diwajibkan untuk memarahi diri sendiri... dan lebih tegas terhadap keteledoran yang kita kerjakan...
Tapi, itu opini saya lhp.... blum tentu sama dengan org lain...
Tapi menjadi wiraswastawan jauh lebih dinamis, lebih memaksa kita untuk kreatif dan inovatif selalu tetapi (tidak merdeka)......